in

Two of us

Siang itu bunyi rintik hujan yang turun menyapa tanah kembali menemani keseharianku dan sang kakak. 

Di kamarnya, duduk berdampingan dengan kepala saling bersandar kepada satu sama lain, kedua mata kami terpaku kepada layar ponsel yang sedang menayangkan film animasi yang sedang booming di kalangan penggemarnya.

“Matiiiii” ucap kakak dengan nada menggoda, membuatku mendengus kesal.

“Ga, belom. Ga boleh mati, ntar fansnya marah nih”

Kakak hanya tertawa mengejek. Iya aku tahu mereka hanya karakter fiksi, tapi bagaimanapun juga mereka kan tetap mahluk hidup.

Dengan begitu, pembicaraan kami pun berakhir. 

Di tengah-tengah adegan yang menunjukkan persaingan sengit antara karakter A dan R, aku dapat merasakan mataku mulai memberat.

“Kak, adek ngantuk” ucapku pelan, memberi kode untuk kakak agar berhenti menonton film. Tapi bukannya menanggapi dengan penuh perhatian,  laki-laki itu justru menggaruk kepalanya pelan sambil berkata;

“Yaudah sono tidur” 

“Loh terus filmnya?” 

“Ntar kamu lanjut nonton sendiri aja. Kalo mau stop nanggung nih, si R udah sekarat soalnya” 

Aku yang sudah tidak kuat diterjang oleh rasa kantuk hanya bisa memanyunkan bibir lalu mendecih. Dan diakibatkan rasa malas untuk berjalan ke kamarku, aku pun memutuskan untuk membaringkan diri di atas ranjang milik kakak.

“Kalo filmnya udah selesai bangunin ya, awas kalo lupa!” Ancamku dengan jari telunjuk yang mengarah pada sisi wajahnya.

Kakak hanya mengangguk pelan, membawa tangannya mendekat kemari, lalu menutup kedua kelopak mataku secara paksa.

.

.

.

“Adek! Adeeekkk! Adek!” Sejauh mata memandang, yang dapat ditemukan oleh laki-laki itu hanyalah ruangan tak berpenghuni penuh dengan buku yang berserakan di atas ranjang berbalut seprei biru muda. 

Sang pemuda kini beralih meneliti seisi kamar miliknya, memastikan apakah sang adik tertidur di sana. 

Nihil.

Ia dapat merasakan suhu badannya mulai menurun karena terbawa panik, dan bulir keringat pun tanpa disadari turun begitu saja dari pelipisnya.

Di bawah teriknya sinar matahari pada siang hari begini, kemana kira-kira perginya sang adik tanpa mengenakan alas kaki pun membawa ponsel yang merupakan benda sakralnya?

“Adek, ayo keluar! Kakak tau kamu sembunyi di lemari, iya kan?”

Hening.

“Keluar! kalo ngga, kakak aduin ke mama nih” ancam laki-laki tersebut.

.

.

.

“Adek!” 

Aku dapat merasakan suara milik kakak samar-samar mulai memasuki gendang telinga-ku.

Sesegera mungkin, aku membulatkan kedua mata.

Suara rintik hujan yang mengetuk kaca jendela, bunyi teriakan karakter fiksi yang bersahut-sahutan, dan presensi kakak kini sudah tak lagi mengelilingi diriku.

Bahkan kini aku sudah tak lagi berbaring di ranjang milik kakak, melainkan di atas ranjang dengan seprei biru kesukaanku.

Dengan energi yang belum terkumpul sepenuhnya, aku mencoba menyahuti panggilan kakak. 

“Apaaa?” Wah, tenggorokan ku terasa kering sekali. 

“Dek, habis dari mana!? Daritadi kakak cariin kok ga ada sih?” Aku yakin dapat mendengar segelintir nada khawatir terselip dalam pertanyaannya. 

Tumben.

“Tidur lah, gimana sih. Kan adek udah bilangin ntar kalo filmnya udah selesai, bangunin adekkk. Kok jadi anda yang heboh sendiri”

Aku mulai mendudukkan tubuhku agar bisa menyamai arah pandang mata kami. 

“Film apa? Kakak baru aja pulang dari sekolah gini kok” 

Aku terdiam sejenak, memproses kalimat yang baru saja terlontar dari mulut kakak. 

“Hah? Lah kita berdua tadi jelas-jelas nonton film Y di kamar kakak kok!” Ucapku tak mau kalah.

“Nggak ada, mimpi kamu ya? Kakak kan dari pagi udah pergi ke sekolah karena ada rapat osis”

“Lha ya terus ini?” 

Aku mengambil ponselku, membuka galeri, lalu menunjukkan video hasil rekaman tadi yang menunjukkan adegan pembukaan dari film Y. Disitu juga dapat terdengar suaraku dan kakak yang sibuk berargumen apakah karakter R akan mati dalam film kali ini. 

Kedua mata kakak membulat, lalu dengan sigap ia membawaku pergi ke luar rumah. 

“Dek, kamu nonton sama siapa selama ituu?” Suaranya benar-benar lemas, seolah-olah nyawanya baru saja ditarik oleh sesuatu.

Sialnya, aku yang sejak dulu selalu beranggapan bahwa eksistensi hal-hal seperti itu hanya sebagai bahan hiburan semata, kini jadi ikut takut. 

“.. y-ya adek engga tau kalo gitu” 

Lalu, boom! 

Aku benar-benar yakin aku dapat mendengar suara yang terdengar persis seperti milik kakak melewati telingaku, berkata;

“Kok gatau? Padahal tadi kita berdua nonton filmnya”

Dan kalau dilihat-lihat dari reaksi dari kakak, aku yakin ia mendengarnya juga, perkataan barusan. 

Well, sucks to be me then.

What do you think?

Written by Dinnosaur

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Loading…

0

Ekspektasi

Kakak & Adik