in

STOP !! Mendiagnosa Diri Sendiri

Pernah ga sih ketika kamu nonton series di Netflix atau Drama Korea yang kamu suka dan nemuin tokoh utama yang punya karakter, atau jalan kehidupan yang mirip banget sama kamu. Pas nonton itu kamu ngerasa tokohnya itu ‘aku banget’. Padahal tokoh di film itu mengidap suatu gangguan psikologis tertentu.

  Atau mungkin, ketika kamu dengerin lagu-lagu nya Kunto aji, lagu-lagu nya Nadin Amizah, di otak kamu muncul sebuah kalimat “ko lagu ini kaya ngewakilin aku ya”. Padahal mungkin lagu-lagunya ngomongin tentang depresi.

Hal itu adalah salah satu contoh dari Self-Diagnosis.

Ga ada yang salah sih dengan film atau lagu-lagunya, tapi yang jadi masalah adalah cara kita terlalu cepat mengambil kesimpulan tentang kondisi diri kita sendiri. Contohnya aja di media sosial, ga sedikit orang yang menyatakan mengalami masalah psikologis.

“Duh aku depresi deh ini tugas banyak banget ga kelar-kelar”

“Aku sering ngomong sendiri, kayanya aku Halusinasi deh”

“gasuka banget sama yang kotor-kotor, apa aku OCD ya”

“Aku kayanya bipolar deh mood aku gampang banget berubah-ubahnya”

Postingan-postingan kaya gitu pastinya sering kita temuin dan ga jarang beberapa followers ngasih respon berupa tanggapan positif mengenai masalah psikologis yang dialami, seolah-olah apa yang disebutkan orang itu adalah benar tanpa mengetahui sumber yang valid, bahkan me-retweet atau ikut membagikan postingan tersebut.

Fenomena ini seakan jadi hype dan orang-orang terkesan hanya mengikuti tren ini agar tidak merasa ketinggalan zaman dan menganggap ini sesuatu yang keren. Maraknya platform yang menyebarkan informasi mengenai tanda-tanda gangguan psikologis juga membuat pembaca menjadi tersugesti memiliki keadaan yang sesuai dengan hal tersebut.

Self-diagnosis adalah upaya mendiagnosis gangguan yang ada pada diri sendiri berdasarkan informasi dari sumber yang tidak professional. Jadi, self-diagnosis mental dapat diartikan seseorang yang mendiagnosis dirinya memiliki penyakit mental tanpa melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan psikolog. Hal ini justru menjadi tren di kalangan remaja saat ini. 

Terkadang kevalidan dari situs di internet tentu harus dipertanyakan karena tidak menunjukan sumber yang jelas, dan apakah individu yang melakukan Self-Diagnosis itu menjawab sesuai kebenarannya atau cuman prasangka aja.

Banyak yang menuliskan diagnosis terhadap dirinya didasarkan kepada apa yang dirasakan sehari-hari dan apa kegiatan yang dilakukan. Tetapi dalam banyak kasus, pengguna harus berhati-hati dan tidak mengambil informasi yang mereka terima dari pemeriksa gejala online sebagai patokan utama.

Ga berarti semua yang kita baca di artikel seolah – olah menggambarkan kondisi sebenarnya mental kita. Ga berarti ketika kita nonton film dan ngerasa masalah tokoh utamanya itu ‘aku banget’, kondisi mentalnya juga seperti yang kita alami. Ga berarti ketika mendengarkan lagu-lagu sedih tentang orang yang depresi dan kita ngerasa ‘relate’, itu pertanda kalau kita depresi juga . Banyak sekali ke-tidakberarti-an yang kita dapat jika bukan berasal dari sumber-sumber profesional yang terpercaya. 

Sebaiknya ga usah self-diagnose ya ..

Penulis : Faldhy Dwi Budiansyah – KARNA

What do you think?

Written by KARNA

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Loading…

0

Kenapa aku gagal Ujian? Lalu, Aku harus apa?

Generasi Gap : Sudah saatnya untuk berkolaborasi