in

SedihSedih

Sekejap Cakap

Pria itu menurunkan pemikul dari bahunya perlahan. Saatnya beristirahat sejenak, kakinya lelah terus berjalan sedari pagi tadi. Ia mendudukkan dirinya di trotoar dengan pandangan terarah pada kendaraan-kendaraan yang melintas di jalanan.

Senyum tipis terulas di wajahnya yang sudah keriput ditelan masa. Netranya memandang ke langit, melihat matahari sudah mulai bergerak menuju tempat peristirahatannya. Kemudian teralih lagi pada butiran-butiran baksonya yang lagi-lagi tak tersentuh siapapun hari ini. Masih utuh. Tidak ada seorang pun yang membeli.

Tes!

Cepat-cepat pria itu mengusap air matanya. Berusaha menahan, pria itu kembali mendongak pada langit senja. Sesaat ada sesak yang menyerang dadanya, namun tak sampai hitungan menit sesak itu sudah menghilang. Ia menggeleng kecil, berusaha untuk tak terlalu memusingkan hal kecil yang sudah terjadi berulang kali itu. Hingga didengarnya suara langkah kaki yang mendekat, pria itu menoleh dan mendapati sesosok gadis berjilbab merah marun sudah berdiri di hadapannya.

“Mbak, mau beli bakso?” tanya pria itu dengan senyum penuh harap. Satu saja. Cukup satu pembeli saja beliau sudah bahagia.

Gadis itu mengubah posisi menjadi berjongkok, lalu mengangguk singkat..

“Iya, Pak. Dibungkus lima plastik ya,” balasnya lembut. “Bapak namanya siapa?”

“Wagimin, Mbak. Kalau Mbak?”

“Saya Rani, Pak.” Rani mengulas senyum kecil saat melihat raut Pak Wagimin menjadi cerah, tak mendung seperti tadi yang ia lihat. “Alhamdulillah ketemu Pak Wagimin di sini. Jadi, saya nggak perlu motoran jauh-jauh buat nyari makan.”

Pak Wagimin merespon dengan sebuah angguk. Tangannya bergerak secepat mungkin untuk menyelesaikan pesanan gadis di sebelahnya.

“Dari jam berapa Pak jualannya?” 

“Dari pagi, Mbak. Nanti kalau kesiangan bisa-bisa rejeki saya dipatok ayam.” Pak Wagimin terkekeh. “Tapi mungkin besok saya harus mulai jualan lebih pagi lagi ….” 

Rani dapat mendengar kalimat terakhir itu sedikit bergetar.

“Biasanya pulang jam berapa, Pak?”

“Malam, Mbak. Saya keliling-keliling sampai dagangan saya habis,” sahut Pak Wagimin. “Tapi sudah seminggu ini nggak ada yang beli, Mbak.”

Rani dapat merasakan matanya memanas.

“Tapi, Alhamdulillah, Mbak Rani beli hari ini. Makasih banyak ya, Mbak.”

Pak Wagimin mengikat plastik demi plastik bakso tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam plastik hitam dan disodorkannya pada gadis beriris cokelat tua itu.

“Lima belas ribu, Mbak,” ucap Pak Wagimin.

Rani memberikan selembar uang berwarna merah muda yang membuat Pak Wagimin tersentak begitu saja.

“Mbak, saya nggak ada kembaliannya … Ini uangnya besar sekali ….”

“Nggak perlu, Pak. Ini kembaliannya untuk Pak Wagimin aja. Maaf ya, Pak, saya nggak bisa kasih banyak.”

Tangan Pak Wagimin bergetar saat menerimanya. Beliau menggenggam erat tangan Rani seraya mengucap terima kasih berkali-kali.

“Terima kasih banyak, Mbak. Saya doakan Mbak bahagia selalu, rezekinya lancar,” ujar Pak Wagimin hingga tak sadar air mata itu sudah mengalir. Cepat-cepat Pak Wagimin mengusapnya.

“Aamiin, Pak. Bapak abis ini mau langsung pulang?” tanya Rani.

“Ini nunggu azan magrib dulu, Mbak. Habis shalat kayaknya saya mau langsung pulang.”

“Di rumah ada siapa aja, Pak?” Rani bertanya sembari memperbaiki genggaman pada plastik bakso di tangan kanannya.

Senyum Pak Wagimin tampak memudar.

“Sendirian, Mbak. Istri saya udah dijemput duluan,” jawab Pak Wagimin. “Orang baik dia, Mbak. Jadi dipanggil duluan.”

Rani kini menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan agar air mata itu tak meluncur turun.

“Saya juga kalau emang udah saatnya meninggal udah siap, Mbak,” tutur Pak Wagimin. “Saya ini udah delapan puluh tahun, udah nggak bisa ngapa-ngapain selain dagang kayak gini … Saya kangen almarhumah istri ….”

Rani tak bisa menahannya lagi. Isakan lolos dari bibirnya, tangisnya pecah.

“Mbak? Lho, Mbak, jangan nangis,” tegur Pak Wagimin sembari mengelus bahu Rani lembut.

“Maaf … Pak … Saya … nggak bisa nahan lagi ….” Rani terisak.

“Apapun keadaan saya, saya berusaha untuk selalu bersyukur, Mbak. Setidaknya saya masih punya rumah untuk tidur. Saya masih bisa makan sehari-hari pakai bakso dagangan saya … Jadi, Mbak jangan nangis ….”

Rani membenamkan wajah di antara kedua lututnya. Hingga ia merasakan usapan lembut pada kepalanya.

“Hidup itu tentang berusaha dan bersyukur, Mbak. Kalau sudah berusaha jualan bakso sampai muter-muter ke mana-mana ternyata belum ada yang beli, yaa disyukuri saja. Baksonya jadi bisa dimakan sendiri.” Pak Wagimin tertawa kecil. “Sudah yuk, Mbak. Ini sudah mau magrib nanti Mbak Rani kemalaman sampai rumahnya gimana?”

Rani mengangkat wajah, menyeka sisa-sisa air mata di ujung matanya. Sore itu, Rani tak pernah menyesali keputusannya untuk mendatangi Pak Wagimin. Sosok dengan tubuh yang mulai ringkih tetapi dengan semangat terus memikul bakso dagangannya.

Sosok dengan senyum tulus yang mampu menghilangkan kegelisahan hatinya. Sosok dengan mata penuh binar saat Rani mengatakan ingin membeli baksonya. Sosok yang … sudah tiada saat Rani mengunjunginya tiga hari kemudian.

“Saya kangen almarhumah istri ….” ***

What do you think?

Written by Shinju Auliya

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Loading…

0

Temu yang Lalu

Happiest