in

Precious

Pagi itu, di halte bus, awal mula aku bertemu dengannya.

Aku duduk dibangku panjang yang telah tersedia sembari menunggu bisa datang. Ditengah keasikan melamun, tiba-tiba ada seorang cowok—yang juga anak sekolahan—duduk disampingku.

Cakep sih….tapi bisa nggak duduknya nggak usah dekat banget denganku! Bahkan aku bisa merasakan kedua bahu kami bersentuhan, begitu juga dengan aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya.

Oke, oke. Kenapa aku malah membiarkan diriku menikmati harumnya. Aku pun melirik ke sisi kiri; bangkunya kosong, sebenarnya dia bisa duduk disana. Lalu aku melirik kesisi kanan; bangkunya juga kosong. Jadi maksudnya apa duduk di dekatku?

Sekelebat rasa khawatir menderaku, refleks saja aku menahan nafas, jangan-jangan dia punya maksud jahat padaku, meskipun pada waktu itu banyak orang yang berada dihalte itu, aku merasa harus tetap waspada, jaga-jaga barangkali dia mau berbuat buruk padaku.

Aku memilih bergeser—dengan pelan-pelan, dan yang menjengkelkannya adalah dia juga ikut bergeser tanpa mengurangi jarak di antara kami. Aku menatapnya terang-terangan, tanpa sedikitpun menyembunyikan kekesalanku. Menyadari aku tengah menatapnya, dia pun menoleh padaku.

“Kenapa?” tanyanya dengan tampang nggak bersalah.

Sebenarnya aku sangat ingin memarahinya, sambil ngomong; heh cowok ganteng—yang nggak ganteng-ganteng amat—bisa gak, gak usah maruk sama kursi, geser-geser sana kek. Pengennya begitu, tapi aku sadar posisiku sedang berada di ruang publik, dan pastinya akan ditonton orang banyak, jadi nggak seharusnya aku membuat keributan. Aku menghembuskan nafas, mencoba untuk sabar, dan bergeser sekali lagi, berharap dia nggak akan ikut bergeser juga. Akan tetapi seakan ‘nyari mati’ denganku, dia mengkutiku! Wah, dia pasti ngajak bercanda, tapi aku nggak mau!

Belum tahu dia kalau aku ngamuk gimana, dan sayangnya sebentar lagi cowok ini akan tahu.

Aku berdiri garang menghadapnya, “Heh, maksud kamu apa sih dekat-dekat denganku?” Seolah pertanyaanku ini nggak penting untuk dijawab, dia malah tersenyum pada sekumpulan gadis yang sepertinya sebaya denganku, “tempatnya sudah kosong, kalian bisa duduk disini.”

Sekumpulan gadis itupun duduk ditempat yang baru saja aku duduki.

Sialan! Aku menatap nggak percaya dengan  yang barusan terjadi. Aku sungguh nggak terima tempat dudukku diambil. Napasku memburu menahan emosi yang mulai memuncak. Bodo amatlah sama prinsip menjaga kedamaian, karena cowok didepanku ini sudah mencuri damaiku.

“Heh!! Aku nggak sudi tempatku diambil sama orang-orang ini. Gara-gara kamu ya,” aku menujuknya, tepat di kedua bola matanya, “Lagian maksud kamu apa sih, dekat-dekat sama aku? Aku nggak kenal kamu ya, jadi jangan sok kenal, sok dekat sama aku!!”

Dia tersenyum tipis. “Maaf, tapi sepertinya kamu harus mengurangi tingkat PD-mu. Aku melakukan ini bukan karena ingin dekat-dekat denganmu. Aku melakukannya karena kamu duduknya terlalu memakan banyak tempat, jadinya mereka,” dagunya mengendik ke sekumpulan gadis tadi, “nggak bisa duduk karena kamu. Belajarlah peduli dengan sekitarmu. Dan satu lagi, aku nggak kenal kamu dan untuk apa aku sok kenal, sok dekat denganmu, sangat buang-buang waktu.”

Telak. Dia mengakhiriku. Aku tertawa nggak percaya, barusan dia ngomong apa, ‘kamu harus mengurangi tingkat PD-mu’, ‘untuk apa aku sok kenal, sok dekat denganmu, sangat buang-buang waktu’, whoa dia benar-benar mengakhiriku, aku sampai bingung harus memberi tanggapan yang seperti apa. Ck, ini bukan aku sekali. Sangat nggak keren kalau aku kalah. Ketika aku ingin membalas perkataannya, aku merasa dari segala penjuru arah ada banyak orang yang menyaksikan pertunjukkan yang kami ciptakan. Aih, bikin malu saja! Heh, cowok tengik, lain kali akan aku perlihatkan cara menang yang sesungguhnya itu seperti apa. Kali ini aku hanya sedang berbaik hati padamu, makanya aku membiarkan kamu yang menang berdebat. Ingat, hanya kali ini saja! Lain kali, hah, jangan harap kamu bisa menang!!!!

Aku memilih untuk kembali diam, yah, walaupun kakiku mulai pegal-pegal karena kelamaan berdiri. Untungnya nggak lama setelah itu bis datang. Tanpa membuang-buang waktu segera saja aku masuk. Dan yang nggak bisa kupercaya—lagi—aku harus satu bis dengan sama cowok itu.

Maksud semesta apa sih, bukannya sudah cukup aku dipermalukan olehnya, terus kenapa sekarang harus satu bis segala.

Ketika sudah sampai di pertigaan jalan menuju sekolah, aku turun dari bis, dan langsung kaget melihat dia yang juga turun. “Bukannya kita nggak saling kenal? Kenapa kamu ikut turun juga?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa bisa kucegat.

Dia mengerjap malas.

“Ini jalan umum. Dan jalan kesekolahku ya hanya lewat sini.”

Aku memukul keningku, menunduk malu. Benar juga katanya, aku harus mengurangi tingkat kepedeanku yang nantinya bakal bikin aku malu sendiri.

“Oh maaf, aku nggak tahu kalau jalan sekolahmu lewat sini.”

Selanjutnya aku terdiam dan dengan sadar menyadari kalau cowok itu menyamai langkahnya denganku. Lama aku berpikir, seingatku sekolah yang rutenya melalui jalan ini ya hanya sekolahku, jangan-jangan …

“Kamu sekolah di SMA Ganapatih?” Dia mengangguk. “Tapi kok aku jarang dan bahkan hampir ga pernah lihat kamu?” tanyaku. “Aku nggak suka dilihat banyak orang,” jawabnya.

Saat itu aku bisa langsung menyimpulkan kalau cowok ini orang yang sangat nggak suka bergaul dengan banyak orang. Entah gimana, yang pasti waktu itu aku mengulurkan tanganku, dan berkata :

“Kalau gitu, setelah ini, kamu bakal sering ketemu aku. Kenalin aku Shearu Nedia. Kelas X-3.”

Cowok itu membalas uluran tanganku, “Hansamu Madava. X-7.”

Aku senyum, dia juga balas tersenyum. “Tapi … Muka kamu tuh nggak asing banget, aku kayak pernah ketemu tapi dimana gitu..” ujarku. Aku berusaha menggali ingatanku, “Ah, kamu  anak dokumentasi itu kan? Yang kata orang, hasil jepretannya itu bagus banget kan?”

Hansa ketawa, “Ngomong-ngomong, hasil fotoku biasa aja.”

Aku mencibir, “Itu nggak biasa-biasa aja. Aku gak suka nih, jangan merendah untuk meroket ya!” Dia kembali tertawa, “Memang biasa aja kok.”

Aku mengibaskan tanganku, “Ya, terserah kamu deh! Yang penting, kalau kamu ada waktu, aku mau difotoin. Oke?”

Hansa tersenyum tipis, “Oke.”

Semenjak kejadian itu, kami semakin dekat. Dia jadi sering ke kelasku, mengajakku kekantin, bahkan nggak segan berbuat onar didepan kelasku hanya untuk menarik perhatianku. Pernah suatu ketika, teman-teman dikelas mengira kami dua pacaran, padahal nyatanya kami hanya dua insan sahabat yang kebetulan terlihat seperti sepasang remaja yang dilanda mabuk asmara.

Tiap hari kulalui bersamanya. Dan akhir-akhir ini … entah kelelahan karena sekolah kami yang jadwalnya memang fullday, atau jadwal motret-nya yang sangat padat, Hansa jadi sering sakit. Terkadang ada saat dimana dia sulit ngomong, bahkan lupa sama kejadian yang baru saja dilakukannya. Aku selalu bertanya, “Kamu baik-baik aja? Cerita sama aku,” tapi dia selalu menjawab kalau dia baik-baik saja, dan langsung mengalihkan pembicaraan.

***

Tadi sepulang sekolah, Hansa memberiku sebuah tiket. Rupanya cowok itu mengajakku ke Gedung Tulip untuk menyaksikan sebuah pameran sejarah. Aku mengiyakan ajakannya dengan hati yang sangat gembira, Hansa sangat tahu kalau aku suka sekali dengan hal yang menyangkut sejarah. Jam 6 sore aku mulai bersiap-siap, Hansa bilang akan menjemputku jam 7 malam nanti. Hah, saking senangnya aku sampai bingung mau pakai sneakers atau moccasin, rasanya mau kupakai yang kaki kiriku itu sneakers, terus yang kaki kanan kupakaikan moccasin, biar adil,  nanti kakiku ngambek—mogok jalan mereka, kan berabe urusannya. Tapi … tapi nanti Hansa malu bawa sahabatnya yang stylenya di atas rata-rata gini. Jadi aku memilih pakai converse dipadu padankan dengan kaos dan a-line skirt, walau bagaimanapun bagiku fashion itu diatas segala-galanya, bor. Sembari menunggu Hansa, aku makan dulu, mengisi tenaga karena aku akan menghabiskan malam yang indah ini bersama Hansa.

“Kak, Hansa jadi kesini? Ini udah jam 8 lho.”

Mama mendatangiku.

“Hansa lupa kayaknya. Dia lupa kalau ada janji sama aku.”

Ya, hampir dua jam aku menunggu layaknya orang gila, tapi Hansa tak kunjung datang juga.

“Kalau Hansa belum datang juga, kamu tahu kan artinya apa?”

Ya, aku sangat-sangat tahu, bahwasannya lewat dari jam 8 malam, Mama nggak akan memperbolehkanku untuk keluar rumah. Lagipula pamerannya pasti mau selesai, jadi rasa percuma juga.

Aku menunggu dengan sabar, menahan diri untuk nggak membabi buta menghubunginya, agar dia sadar sendiri sama kesalahannya karena membuatku harus menunggu.

Namun….dia tetap nggak datang.

Aku memandang ponselku lekat-lekat. Masih ada ssetitik harapan kalau dia mengirimiku pesan. Tapi, tetap sama. Perlahan air mata mengalir, membentuk sungai kecil dari mataku. Air mataku jatuh begitu saja, aku menggigit bibir keras-keras supaya tidak mengeluarkan isakan yang akan menarik  perhatian orang rumah. Untuk pertama kalinya, dalam waktu hampir 3 tahun kami bersahabat, kali ini Hansa sangat mengecewakanku. Aku mengusap air mataku kasar, lalu menggerakan tanganku melepas converse yang melekat di kedua kaki, saat terlepas aku banting ke sembarang arah.

Aku nggak tahu harus mengekspresikan rasa kecewaku gimana lagi. Aku menggeram, menahan sekuat tenaga untuk tidak berteriak sambil menyebut nama Hansamu-Sialan-Madava itu. Ketika aku ingin kembali ke kamarku, ponsel yang ada ditanganku berdering. Terpampang di layar ada nama cowok yang membuatku kecewa beberapa detik yang lalu. Aku menolak panggilannya. Tetapi Hansa nggak berhenti sampai situ. Cowok itu manggil lagi, manggil terus sehingga membuat Papa terganggu. Papa ngomong :

“Astaga, Kak, angkat gih  telponnya. Papa capek dengernya .. siapa tahu pacarmu mau ngabsen diri. Sok jual mahal kamu, kalo nggak di hubungi baru tahu rasa.”

Aku mencibir. Bodo amat, bodo amat! Aku nggak peduli, mau nggak dihubungi sebulan, setahun, atau bahkan selama-lamanya juga nggak apa-apa. Dan satu lagi Hansa bukan pacarku, Pa! Orang yang membuatku kecewa nggak pantas menjadi kandidat calon pacarku.

Namun, telepon dari Hansa masuk lagi. Ck, merepotkan. Aku angkat teleponnya saat masuk kedalam kamar.

“Heh, bocah! Aku khawatir banget, kenapa baru ngangkat teleponku sekarang? Untung pulsaku banyak.”

Itu kalimat pembukanya.

“Telponmu nggak penting,” jawabku.

“Halah, bukannya setiap malam kamu selalu nungguin aku nelpon. Berarti kan telponku ini penting. Maaf ya lambat nelpon, pasti kamu kangen banget sama suaraku yang serak becek ini.”

“Aku—“ aku mau membalasd namun Hansa memotong, “Udah. Aku tau kamu kangen banget.”

Nafasku menderu, “Bercandaanmu nggak lucu! Diam, aku benci dengar suaramu!”

Aku kecewa, kukira dia menelponku untuk minta maaf, tapi dari nada suaranya saja nggak ada sedikitpun merasa bersalah, apa membatalkan janji semudah itu baginya! Aku sungguh teramat membencinya!

“Shea?” Suaranya bagai orang yang terkejut.

“Kenapa kamu ngajak aku ketemu kalau ternyata kamu sendiri nggak punya niatan jalan sama aku!”

“She?” Kali ini suaranya terdengar seperti kebingugan.

“Apalagi, Hansa?! Kamu tau, kamu hanya ngebuang waktuku! Kamu ngebuat aku ngebuang parfumku dengan sia-sia! Kamu ngebikin aku ngebongkar isi lemari—“

“Shea, cukup, She. Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin,” potong Hansa.

Aku menggeram, “Jangan banyak alasan kamu Hansa!”

“She, serius. Aku nggak tahu apa yang kamu omongin. Seingatku, aku nggak ada ngajak jalan.”

“Mau pura-pura lupa ingatan kamu! Jangan coba-coba lari dari masalah, Hansa!”

“Astaga! Sumpah Shearu, aku nggak ada ngajak kamu jalan. Lari dari masalah apaan coba, buat masalah aja nggak ada, ngawur kamu. Mabok angin ya, She?”

Perkataannya membuatku terhenti sejenak, “Kamu benar-benar nggak ingat kalau kamu ngajak jalan ya Hans?”

“Bukan nggak ingat, yang benar itu ‘nggak ada’.”

Ini yang kedua kalinya dia lupa. Apa yang terjadi sama Hansa, selama aku mengenalnya, Hansa itu termasuk orang yang ingatannya sangat kuat. Mengapa dia jadi mudah lupa?

***

Seminggu berlalu setelah kejadian Hansa yang ‘lupa’, kami  sedang berada di taman favorit kami. Selama dalam perjalanan ke taman, aku teramat sadar kalau Hansa nggak seperti biasanya. Wajahnya redup, badannya luyu, dan dia jarang ngomong. Dia juga kehilangan fokus dalam mengendarai Jalu si vespa kesayangannya—bahkan saking sayangnya, dia pernah bilang Jalu itu separuh hidupnya—oke, kembali ke cerita, sampai-sampai pemilik Jalu ini lupa jalan ke taman favorit kami. Bayangin, taman favorit kami lho ini, seharusnya sudah terekam dengan jelas lho seluk beluk jalannya. Aku makin yakin ada yang aneh sama Hansa.

“Hansa, kamu jarang makan bayam ya?”

Itu pertanyaanku saat Hansa mengaku lupa jalannya.

“He he, kamu kan tahu aku nggak suka makan sayur.”

Aku memukul bahunya, “Hansaaaa! Aduh pantesan!”

Dia mengaduh kesakitan, “Sakit atuh neng. Untung pukulanmu nggak sekuat Jugo, kalau iya, mampus aku. Remuk badanku.”

“Hansaaaaaa,” aku merengek dibelakangnya, “Jangan bilang ingatanmu berkurang karna jarang konsumsi bayam?” tanyaku ragu. Seketika ketakutan merayapi pikiranku yang suka overthinking ini.

“Heh, teori darimana itu?”

Aku mencubit pelan pinggangnya, “Teori Mama Negara.”

Dia hanya ketawa, “Ada-ada aja.” Akupun ketawa, setidaknya dia nggak seluyu tadi. Hansa lebih hidup kalau seperti ini, aku nggak suka dia yang nggak semangat. Aku terbiasa dengan dirinya yang ceria.

Tibalah kami ditaman, bersyukur aku nggak keikutan lupa jalan kayak Hansa. Aku langsung menariknya masuk kedalam taman.

“Tamannya nggak berubah ya,” kataku.

“Iyalah. Mereka malas merenovasi taman ini, nanti keindahanmu bakal kalah,” gombal Hansa yang jayus abis.

“Kalau aku nggak indah lagi gimana dong?” tanyaku cemberut. Mengikuti permainannya. Kadang kami suka main peran begini, asik aja keliatannya.

“Kamu tetap indah. Karena hatimu selalu memancarkan keindahan itu.”

Aku sedikit terperangah, menghilangkan gugup. “Ehm … Hansa?”

“Iya?” dia menatapku sayu. Aku membuka bibir, “Harusnya kamu bilang, ‘kamu tetap Shea’ bukan ‘kamu tetap indah’.”

Dia mencebik, “She! Hih merusak suasana aja! Padahal ala-ala drakor yang suka kamu tonton, pas banget timing-nya.”

Aku tersenyum, lalu menggandeng tangannya erat. “Kita mah gak cocok sosweet-sosweet gitu.”  

Kami pun berjalan menyusuri taman. Angin berembus, sangat kencang, seakan memberi jalan pada pohon-pohon itu untuk menggugurkan daunnya. Sehingga aku jadi bisa merasa atmosfer yang romantis melingkupi kami seperti yang aku impi-impikan selama ini. Bersamanya, aku ingin menikmati waktuku semaksimal mungkin. Membayar lunas janji ke pameran tempo hari yang sempat tertunda. 

Langkah Hansa terhenti, mau nggak mau aku ikut berhenti.

“She…” suara Hansa terdengar merintih.

Aku memegang kedua bahu Hansa, dalam jarak yang dekat aku melihat peluh bercucuran dikeningnya. Kekhawatiranku mendadak hadir.

“Hansa?”   tanyaku kecil, takut.  “Kamu baik-baik aja?”

Dia semakin merintih, memegang kepalanya.

“Pulang. Aku mau pulang. S-sakit, She.”

Aku memeluknya. Lalu mencium pucuk rambutnya.

“Iya, kita pulang.”

Dan disaat genting seperti ini, terkutuklah diriku yang tidak bisa mengendarai Jalu. Aku dengan cepat mengambil ponsel dari dalam tas, menghubungi Om Sadrah—adik Mama—yang rumahnya tidak jauh dari taman ini.

Namun tanpa bisa kuprediksi, tiba-tiba saja, Hansa kehilangan kesadaran, beban badannya sepenuhnya bertumpu padaku. Aku panik, Om Sadrah belum datang juga. Aku berteriak meminta pertolongan pada orang sekitar. Syukur ada yang mau membantuku membawa Hansa ke rumah sakit. Aku tak lupa menghubungi tante Nada—mama Hansa. Memakan waktu hampir setengah jam, dokterpun keluar dari ruangannya, dokter menyatakan bahwa Hansa harus dirawat di rumah sakit sampai benar-benar pulih kembali.

Khawatir terjadi  sesuatu, selama Hansa dirawat aku harus menemaninya, tiap pulang sekolah aku selalu menjenguk Hansa ke rumah sakit. Mungkin dengan kehadiranku, dapat sedikit mengurangi sakit yang Hansa rasakan. Namun … hampir dua minggu Hansa dirawat, kondisinya tidak mengalami kemajuan. Yang membuatku sedih yaitu keadaannya dari hari ke hari bukannya membaik, tetapi semakin memburuk. Tubuhnya makin kurus, bahkan tak ada lagi pipinya yang berisi. Akhir pekan, subuh-subuh aku sudah sibuk di dapur, membuat sup kesukaan Hansa berangkat dari resep yang telah diberikan tante Nada. Setibanya dirumah sakit, segera aku ke ruangan Asoka—tempat Hansa dirawat.

“Hai!” Sapaku riang.

Dia hanya menggumam.

“Aku bawain sup kesukaan kamu.”

Hening, nggak ada jawaban dari Hansa.

Ironisnya dari hari ke hari, diriku dalam ingatan Hansa bagai sebuah kertas utuh yang dipotong-potong lalu dibakar menjadi abu dan menghilang secepat cahaya ketika angin meniupnya. Aku dalam ingatannya perlahan menghilang. Mata itu menyiratkan kekosongan. Matanya saat memandangku bagai asing. Matanya yang menjelaskan semuanya, bahwa aku sudah benar-benar mulai hilang dari hidupnya. Namun aku tak menyerah, aku selalu mengenalkan diriku padanya. Aku selalu memperlihatkan memorial kebersamaan kami, melewati foto-foto serta video yang pernah kami dokumentasikan. Aku selalu bercerita tentang dirinya yang konyol, hal-hal lucu yang pernah dia lakukan untukku. Aku melakukan semua itu! Selalu, tanpa henti, tiap jam, tiap menit, tiap detik bahkan kalau perlu. Berangkat dari kenyataan tersebut, aku yakin dengan aku melakukan itu mungkin sedikit demi sedikit ingatannya yang telah hilang, mulai terkumpul kembali.

Pada malam itu, terhitung genap satu bulan sejak Hansa dirawat, aku izin sama Mama untuk menginap dirumah sakit menemani tante Nada dan membantu tante Nada menjaga Hansa. Dalam hening yang menjuarai, tante Nada membuka percakapan: “Sebenarnya Hansa sudah lama punya penyakit demensia alzheimer, ini sudah memasuki tahun keempat. Itu penyakit genetik yang diturunkan papanya, dan sekarang penyakitnya semakin parah. Semenjak papa Hansa meninggal, harta satu-satunya yang tante miliki hanya Hansa, dan hal itu membuat Hansa depresi, secara nggak sadar depresi yang dialami Hansa ternyata membuat otaknya mengalami kerusakan. Hansa pernah berada di titik terberat, dimana dia takut sekali meninggalkan tante, dia selalu bersama tante kemanapun tante pergi. Tetapi tante memberikan pengertian pada Hansa, ‘jangan pikirkan bagaimana jadinya jika kamu benar-benar meninggalkan mama, tetapi selagi berada didunia manfaatkanlah waktumu bersama mama, pikirkan hal berharga apa yang akan kamu lakukan bersama mama’, lambat laun Hansa menerima keadaannya, dia nggak membiarkan dirinya depresi. Dia benar-benar melakukan apa yang tante bicarakan. Hansa … seperti punya harapan kembali untuk bertahan, apalagi memiliki sahabat cantik seperti Shea, semakin banyak alasan untuk Hansa berjuang melawan penyakitnya. Tiap malam tante mendengar Hansa berdoa, doanya selalu sama ‘apa lagi hal yang bisa aku lakukan selagi diberi kesempatan berharga saat masih bisa bernafas didunia ini?’. Hanya doa kekuatan Hansa. Tante sangat tahu bahwasannya orang dengan demensia alzheimer jarang ada yang sembuh, walaupun begitu tante nggak lantas putus harapan, belajar dari Hansa, tante percaya masih ada harapan. Yang penting selalu menyerahkan sama Tuhan, berdoa semoga ada kesembuhan,” kata Tante Nada dengan jelas. Aku hanya tergugu diam mendengarnya, aku menatap wanita paruh baya tersebut, ya, masih ada secercah harapan dibalik keyakinan yang meneguhkan hati.

Doa yang tak henti-hentinya diserukan, tak berujung asa. Tuhan mendengarkannya, pagi itu, genap dua bulan Hansa dirawat, aku dan tante Nada untuk pertama kalinya mendengar Hansa mengeluarkan suara—setelah sekian lama. Tante Nada bangkit berdiri dari duduknya, langsung menghampiri Hansa. Aku pun keluar dari ruangan Hansa, memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Hansa. Hansa dinyatakan sembuh, walau belum total. Dan juga ingatannya belum pulih sepenuhnya, tetapi aku tetap bersyukur dan bahagia sekalipun dia hanya tahu namaku. 

Atas permintaan Hansa, dia mau dirawat dirumah saja. Padahal dokter masih belum mengizinkannya untuk pulang kerumah karena, namun Hansa tetap bersikukuh ingin tinggal dirumah saja. Entah harus bagaimana lagi aku mengucap syukur pada Tuhan, dia mengingat semua dengan cepat, dia tidak hanya ingat namaku, tetapi dia juga ingat cerita hidupku. Bahkan dia ingat setiap detil cerita kami. Malamnya, aku dan Hansa hanya bersantai di balkon kamar Hansa. Setelah dua bulan, Hansa melewati masa kritisnya, berdua seperti terasa mimpi bagiku. Saat asik-asiknya aku memperhatikan bintang-bintang diatas langit, tiba-tiba :

“Ini,” Hansa memberiku jam antik.

Aku menerimanya, “Makasih …”

Hansa senyum, “Jaga baik-baik ya. Senang nggak?”

Aku mengangguk antusias, “Kamu selalu berhasil buat aku senang, he he he.”

“Berapa nilainya?”

Aku ketawa mendengar itu, “Seratus ribu!”

Dia balas, “Lumayan, bisa nafkahin kamu berapa hari tuh.”

Kami ketawa, setelah itu kami dua hanyut lagi dalam diam yang menenangkan.

“Hansamu,” kupanggil namanya. Ia menoleh, “Kenapa?”

Ini terasa seperti mimpi. Aku menggeleng, “Kamu makin ganteng.”

Dia senyum, “Baru tahu kalau aku ini ganteng lahir batin.

“Iya baru tahu, biasanya kamu jeleeeeek banget dimataku,” sahutku.

Dia tertawa, “Sini peluk aku.”

Hansa merentangkan tangannya, aku tersenyum dan membalas pelukannya. Dua bulan ini rinduku untuknya begitu besar. Saat aku bisa merasakan kembali hangatnya dekapan Hansa, aku tahu rinduku sudah terbayarkan. Hansa diam, sejenak kurasa jantungnya berhenti berdetak. Aku langsung panik kala kepalaku mendongak melihatnya yang menutup mata,

“HANSA!”

“Hm?”

Nafasku terengah-engah bagai orang habis berlari. Tanganku yang dingin meraih tangannya. “Aku kira kamu kenapa-napa!” cebikku.

Hansa membuka mata, lalu berkata : “Shea? Apa kamu percaya, bahwa disetiap pertemuan pasti ada perpisahan? Kita nggak tahu masa depan, bisa aja hari ini kita peluk-pelukan. Eh, tau-tau besoknya kita berpisah. Hanya Tuhan yang tahu. Satu hal yang pasti, 3 tahun aku habiskan sama kamu, aku sangat menikmati itu. Aku sayang kamu.”

Setelah bicaranya yang kedengaran menakutkan itu, akhirnya dia diam.

Aku pun memilih diam juga, tak menanggapinya

***

Setibanya di rumah, sehabis mengganti baju dan gosok gigi, aku masuk kedalam kamar, langsung menuju kasur dan merebahkan diri. Aku mencoba untuk tidur, menutup mataku, tapi sulit rasanya. Aku terus saja memikirkan perkataan Hansa.

Dan keesokan harinya, tepat pukul 07.00 AM tante Nada menghubungiku dan memberi kabar bahwa Hansa meninggal.

Pagi itu aku ingat, awan mendung sekali seakan mendukung abunya hati.

Awan itu meluruhkan senyuman mentari. Aku sangat shock, duniaku menghilang, apakah ini mimpi? 

Apakah perkataan nya tadi malam adalah pertanda bahwa kami akan berpisah? Rasa-rasanya baru tadi malam aku melebur dalam dekapnya. Baru kemarin terdengar kabar bahagia kalau dia sembuh, rasanya baru kemarin aku menikmati senyumnya, kenapa ini mengoyak hati.

Pintu kamar terbuka, Mama lengkap dengan pakaian hitamnya, “Sayang..”

Air menggenangi mataku, “Ini beneran ya Ma? Ma …” aku memukul dadaku, “Disini, Ma. Disini sesak. Aku .. aku tahu ini pasti mimpi, banguni aku, Ma.”

Mama merengkuhku, “Shea yang sabar ya.”

Aku menggeleng sejadi-jadinya, kenapa Mama mendukung konspirasi semesta.

“Bohong! Bohong, Ma! Hansa nggak pergi, Hansa nggak pergi! Hansa nggak … pergi.”

Pertahananku runtuh, aku menangis sejadi-jadinya, hatiku terasa berat melepasnya. Tentangnya, senyumnya, perlakuannya, semua tentangnya .. terputar begitu saja dalam rekam memori. Kemarin adalah perpisahan. Kemarin adalah hari terakhir aku bertemu Hansa, hari terakhir aku bersamanya, hari terakhir aku menikmati senyumnya, dan aku nggak akan pernah melihatnya lagi.

Itulah kisah berharga tentangnya, kisahnya tetap meraja di memori, tak ada yang bisa menggantikan posisinya di hati. Awal kepergiannya memang sangat sulit kuterima, jatuh bangun aku rasakan. Apapun yang aku lakukan, pasti teringat tentangnya, lalu menangis dalam pilu. Hansa sesuatu yang adiktif bagiku, sulit, sangat sulit untuk melepaskannya. Hansa banyak memberikan pembelajaran berharga bagiku, terutama tentang waktu dan kehidupan.

Waktu tak bisa diputar dua kali. Begitu juga dengan hidup, hidup hanya sekali. Manfaatkanlah waktumu dengan orang-orang di sekitarmu, yang menurutmu sangat kamu sayangi, pikirkanlah hal berharga apa yang bisa kamu lakukan bersama dengan orang-orang tersebut. Karena hidup hanya sekali, jangan ada yang disesali.

-TAMAT-

This story is a tribute to my best friend. Sabar, ya. Aku masih berjuang gapai mimpiku, doakan aku ya. Semoga kamu juga baik-baik di atas sana. I love you and I miss you, Erlin. See you when I see you 🙂

What do you think?

Written by toivoapage

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Loading…

0

Lalu, Siapa Pemenangnya?

Kamu Harus Tetap Se-Produktif itu