in

MantapMantap

Moonlight

“Juna! Malam Minggu kita jalan-jalan, yuk!” ajak Kalya sesaat setelah turun dari motor. Yap, ia baru saja diantar pulang oleh kekasihnya itu. 

Pemuda itu memiringkan kepala seraya mengernyit, memenungkan jawaban.

“Boleh, deh. Besok berarti, ya,” balasnya kemudian.

Senyum Kalya mengembang cerah, otomatis pemuda itu ikut tersenyum hingga kedua matanya membentuk bulan sabit.

“Jangan lupa, ya!” serunya memperingatkan.

Sebuah tawa kecil lolos dari mulut Juna. “Iya, Cantik. Besok aku jemput jam tujuh, oke?” Ia mengelus puncak kepala gadis yang memiliki selisih tinggi badan cukup jauh darinya. Gadis yang berstatus sebagai kekasihnya.

Dengan malu-malu, Kalya mengangguk pelan seraya menunduk, menyembunyikan rona merah di wajahnya.

“Hati-hati, ya, pulangnya. See you tomorrow.”

Saat ini, dua sejoli sedang berada di rooftop apartemen Juna. Sudah biasa, sih, mereka seperti ini. Juna sering mengajak kekasihnya itu ke sini untuk sekedar belajar.

Kemarin memang janjinya jalan-jalan, tapi Kalya tiba-tiba berubah pikiran. Ia ingin menikmati suasana kota dari atas bersama Juna. Entah sambil makan camilan, atau hanya saling bungkam.

“Aku ambilin cemilan dulu, ya,” pamit Juna.

Kalya yang memejamkan mata menikmati dinginnya malam pun langsung membuka mata perlahan. “Iya. Jangan lupa balik.”

Juna mendenguskan tawa mendengar balasan Kalya. “Ya pasti balik, lah. Ada-ada aja deh, kamu.” Ia mengacak rambut hitam Kalya. Yang diacak rambutnya hanya tersenyum kecil.

“Mau gimanapun, kalo kamu mau pergi, aku harus izinin kamu pergi.” Kalya semakin menunduk seiring menghilangnya Juna dari pandangan.

Kalya mempertahankan posisi itu sampai tak sadar bahwa Juna kembali.

“Kamu sakit? Kok lesu?” Juna meletakkan sekantong plastik berisi camilan di kursi panjang yang diduduki Kalya, lebih tepatnya di sebelah kanan Kalya.

Kalya mendongak perlahan, kemudian menggeleng pelan sembari tersenyum kecil. Ia menepuk slot kosong di sebelah kanan kresek camilan, menyuruh Juna duduk. “Sini.”

Juna menuruti perintahnya, lantas mengambil sekaleng soda dari kresek di sebelahnya. Ia juga mengambil sekotak susu karamel dan memberikannya pada Kalya.

“Makasih.”

Keduanya diam, sama-sama menikmati suasana malam. Keadaan kota dari sini tidak terlalu kelihatan karena terhalang oleh tembok pembatas. Mereka harus berdiri di dekat tembok pembatas itu untuk bisa melihatnya.

Untungnya, malam ini banyak bintang bertebaran menghiasi langit. Sebuah bulan purnama juga turut berkontribusi memperindah angkasa. Bersih, tak ada awan yang menutupinya. Terlihat lebih indah dilihat dari rooftop.

Kalya suka ini. Mulai dari hawa dingin malam hari, keramaian kota yang cukup terdengar, indahnya langit malam saat ini, dan juga … Juna.

Ia senang Juna-nya mau menemaninya, ikut tersenyum bersamanya, dan memberinya kehangatan.

Meskipun ia tau hal ini akan berakhir secepatnya—entah kapan pastinya.

Juna-nya seakan perlahan terasa ‘jauh’. Entah dari mana asal pemikiran itu, tapi ia merasa bahwa Juna-nya tak seperti dulu. Mau tak mau, ia harus bersiap diri untuk menghadapi perpisahan yang akan datang.

Yang entah akan berakhir baik-baik atau sebaliknya.

“Bulan purnamanya cantik, ya,” celetuknya tiba-tiba.

Juna tersenyum kecil tanpa menoleh. “Tumben muji bulan purnama, biasanya bulan sabit doang.”

“Soalnya tiap liat bulan sabit, aku keinget kamu yang punya dua bulan sabit dan satu bintang kecil. Lucu. Jangan biarin mereka lepas dari wajahmu.” Kalya menatap fokus pada kedua mata Juna, juga satu tailalat kecil di bawah mata kanannya. “Tapi kali ini aku mau muji bulan purnama juga, biar nggak iri,” lanjutnya diakhiri dengan kekehan kecil.

Juna tersenyum simpul. “Kalo aku bahagia, mereka nggak akan hilang. Kamu masih bisa liatin mereka, meskipun dari jauh dan nggak secara terang-terangan.”

Kalya tersenyum penuh arti. Ia lantas memalingkan wajahnya, kembali menatap bulan purnama.

“The moon is beautiful, isn’t it?” Kalya mengulang kalimatnya—dalam bahasa Inggris—tanpa menoleh ke arah Juna.

Juna tak membalas, hanya mengangguk pelan, mengiyakan makna harfiah dari kalimat tersebut.

Sesaat setelah bel istirahat pertama berbunyi, Kalya buru-buru berlalu ke kantin. Takut tak dapat tempat duduk, katanya.

Begitu sampai, ia langsung memesan sepiring nasi goreng dan es teh. Tak lupa, ia juga membeli dua gorengan sebagai pelengkap.

Begitu ingin mencari tempat duduk, seketika suasana kantin dipadati oleh para siswa. Dengan sigap, Kalya melangkahkan kaki menuju ke salah satu bangku kosong. Sebenarnya tak sepenuhnya kosong, sih. Ada beberapa siswa seangkatan, juga adik kelas yang mengisi bangku tersebut. Untung saja masih tersisa satu kursi paling pojok bangku itu.

Kalya terbiasa sarapan sendirian, apalagi saat di kantin. Ia seakan menulikan telinganya supaya bisa menikmati sarapan dengan nyaman. Biasanya ia akan mendengarkan musik dengan earphone. Namun, sayangnya ia lupa mengambilnya dari tas sebelum menuju kantin.

Pada awalnya tidak ada yang aneh. Namun, entah mengapa telinganya seakan-akan menangkap sesuatu yang mengganjal dari balik tubuhnya. Sambil mengernyit, ia memundurkan kepala sedikit bermaksud menajamkan pendengaran.

“Masa, sih? Serius si Juna nge-chat lo? Dari kapan?” tanya seseorang dengan nada terkejut yang tertahan, masih dalam kategori berbisik. Namun, Kalya masih bisa mendengarnya karena orang itu tepat di balik punggungnya.

“Sst, pelan-pelan! Kalo anak kelasan kita ada yang denger gimana, ih!” Terdengar suara tepukan di punggung. Sepertinya si lawan bicara memukul punggung temannya pelan. “Udah dari beberapa hari lalu, sih. Dua mingguan ada kali, ya, lupa. Terus, dia juga sempet nawarin gue tebengan pas gue mau beli bubur bayi di Alfa, tapi gue tolak karena gue ngerasa ini aneh. Balesan gue ke dia di chat juga singkat-singkat biar dia nggak ganggu gue lagi, tapi ternyata dia belum kapok. Tadi pagi juga dia sempet ngirim pesan selamat pagi gitu, tapi gak gue bales sampe sekarang.”

“Kalo Kalya tau, bisa-bisa lo diterkam sama dia, anjir.”

“Ya makanya gue kacangin si dia. Ya kali gue rebut pacar orang. Kayak nggak ada cowok lain aja, ya.”

Kalya mengerutkan alis seraya mendengus kesal. Kedua tangannya terkepal erat di atas pahanya, bermaksud meredam emosi.

Ia kenal suara dua orang itu, Agatha dan Sarah. Agatha yang mengaku dihubungi Juna, sedangkan Sarah yang bertanya di awal pembicaraan.

Ia memutuskan untuk menghabiskan sarapan sembari mendinginkan kepala. Ia tak mungkin langsung meledak-ledak di tempat. Yang ada, ia akan dicap gila oleh para siswa di kantin.

Ini sudah seminggu setelah kejadian di rooftop. Tak banyak pembicaraan saat itu. Mereka lebih sering diam sembari menghabiskan camilan hingga hampir larut. Hal seperti ini lumrah bagi mereka. Namun, kali ini rasanya berbeda dari biasanya, seperti ada sekat tebal yang tak kasat mata di antara mereka.

Mereka tetap berperilaku seperti biasanya—selayaknya orang berpacaran—tak menghiraukan eksistensi sekat tak kasat mata itu. Keduanya sama-sama masih bungkam, tak berani mengungkapkan.

Namun, tetap saja Kalya merasa sangat kesal. Ia tak menyangka kekasihnya akan menggunakan jalan seperti ini. Tangannya terus terkepal erat. Wajahnya benar-benar menggambarkan perasaannya.

“Lo kenapa, Ya?” Seseorang menghampirinya, lantas duduk di kursi kosong di sebelahnya.

Seketika Kalya mengubah air mukanya, lalu mengendurkan kepalan tangannya.

Ia menoleh, memberikan senyum simpul sebelum berdalih, “Gapapa, kok. Kesel aja, tadi es teh gue tumpah setengah gara-gara nggak sengaja disenggol adek kelas. Mana nggak diganti, lagi.”

Gadis di sebelahnya mengangguk kecil sembari membuka mulutnya. Hal itu tak berlangsung lama karena ia tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh iya, tugas biologi lo udah belum?”

“Yang LKS? Udah, sih. Lo mau lihat?” Gadis itu langsung mengangguk sesaat setelah ditawari contekan.

Kalya menyerahkan bukunya. “Difoto aja.”

Gadis itu tersenyum manis seraya mengeluarkan ponselnya dari saku. “Makasih!”

“Nadhira,” panggil Kalya tiba-tiba.

“Hm?” balas gadis itu tanpa menengok. Ia masih fokus memfoto jawaban pada buku Kalya.

“Mendingan putus …, atau terus berhubungan, tapi nggak jelas arahnya?” tanyanya.

Nadhira menghentikan kegiatannya sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. “Mendingan putus, sih. Yang satu harus cari kebahagiaan buat dirinya sendiri, dan yang lainnya harus berhenti kalau dirasa udah nggak kayak dulu lagi,” jawabnya tanpa rasa curiga sedikitpun terhadap pertanyaan Kalya.

Nadhira selesai memfoto semua jawaban. Ia lantas beranjak dari duduknya. Namun, sebelum berlalu, ia menepuk pundak Kalya beberapa kali seraya mengatakan, “Lo juga berhak bahagia dan merasa tenang, sekalipun itu pahit pada awalnya.”

Kalya termenung setelah Nadhira benar-benar berlalu.

Ucapan gadis itu benar, ia harus membebaskan diri, meskipun itu pahit pada awalnya. Ia tak bisa mempertahankan hal seperti ini. Selain karena tak baik untuknya, hal ini juga tak baik bagi Juna bila diteruskan.

Kalya harus menghentikannya sebelum semua benar-benar terjadi.

Sejak kejadian di sekolah tadi, Kalya jadi lebih sering melamun. Ia memikirkan apa yang akan terjadi di waktu mendatang, juga memikirkan perasaannya jika semuanya selesai.

Ia melamun cukup lama, sampai-sampai seseorang harus menyadarkannya agar ia kembali ke dunia nyata.

“Mbak, jadi beli tahu teknya nggak?” Si penjual tahu tek menggesekkan jempol dan jari tengahnya di hadapan Kalya.

Kalya terperanjat, menyadari bahwa ia sedari tadi melamun. “E-eh, maaf, Pak. Iya, jadi. Tahu tek cabe tiga, dibungkus.”

“Siap, Mbak. Mbaknya duduk aja di situ.” Beliau menunjuk ke arah kursi plastik kosong di dekat rombong.

Sembari menunggu tahu teknya dibuatkan, Kalya kembali menjelajahi dunia lamunannya. Ia tak sadar ada seseorang di sebelahnya.

Orang itu menyentuh pundak Kalya perlahan.

“Eh astaghfirullah!” pekik Kalya. Ia terperanjat kaget saat tiba-tiba ada yang menyentuhnya.

Pemuda di depannya juga sama terkejutnya. Ia mengelus dadanya untuk menenangkan diri. “Sumpah, ya, lo kenapa, sih, Ya?” tanyanya dengan nada tak biasa.

“Ya lo yang kenapa?! Bisa-bisanya tiba-tiba nyentuh gue,” balas Kalya tak mau kalah.

“Ya udah iya, gue salah. Sorry. Lagian, lo ngelamun mulu dari gue baru keluar sampe ke sini. Awas kerasukan, lo.” Pemuda itu mengambil kursi plastik lain yang tak diduduki, lalu memosisikannya di sebelah Kalya sebelum diduduki.

“Gatau, ah,” balas Kalya masih kesal.

“Pak, cabe lima, dibungkus.”

“Siap, Mas!”

Pemuda itu lantas menoleh, berniat mengajak Kalya mengobrol agar tak lagi melamun seperti tadi.

Kalya cukup kenal dengan pemuda ini. Namanya Magenta, akrab disapa Genta. Keduanya bertetangga. Rumah Kalya di ujung utara gang, sedangkan rumah Genta di ujung selatan gang. Saat ini, mereka bertemu di rombong tahu tek yang memangkal di tengah gang.

Genta adalah mahasiswa semester satu di kampusnya, sedangkan Kalya adalah siswa kelas dua belas. Sudah pasti mereka tidak satu sekolah.

“Lo kenapa, deh, Ya, ngelamun mulu?” tanya Genta. “Mikirin pacar?”

Kalya terkesiap. “Ih, kok tau? Lo cenayang ya, Kak?”

“Dih, enak aja.” Genta mencebik. “Emang ada apa, sih?”

Kalya mendengus pelan, air mukanya menjadi keruh seketika. “Gue bingung gimana caranya mutusin pacar gue.”

Genta memajukan sedikit kepalanya seraya mengernyit heran. “Hah? Kenapa minta putus?”

“Karena ….” Ada jeda dan dengusan pasrah yang lolos sebelum melanjutkan, “Dianya udah ilang rasa, mungkin.”

“Hah? Kok lo bisa nyimpulin kayak gitu?” tanya Genta.

“Dia lagi deketin cewek kelasan gue. Tadi gue gak sengaja denger di kantin. Gue nggak tau sejak kapan dia naksir temen gue, berujung chatting-an. Kayaknya sih nge-add kontak line dari grup angkatan, deh.” Ia mendengus pasrah, lagi. “Sebelumnya juga ia ngucapin kalimat yang menurut gue ambigu, sih. Kayaknya emang kode,” lanjutnya.

“Mendingan, lo minta penjelasan dari sisi dia dulu, deh. Kalo emang sesuai sama prediksi lo, ya putusin.”

Kalya tersenyum kecil. “Iya, besok gue ngomong ke dia.”

Sesaat kemudian, si penjual tahu tek berbalik badan dan menyerahkan satu kresek berisi sebungkus tahu tek, juga kerupuknya.

Kalya menyerahkan uang pas seraya menerima pesanannya. “Makasih, Pak.”

Ia berbalik, tersenyum kecil menatap pemuda yang baru saja mengobrol dengannya. “Gue duluan, ya, Kak,” pamitnya.

Pemuda itu mengacungkan jempol seraya berkata, “Yoi, semoga lancar, Sis. Pokoknya yang terbaik, deh, buat lo.”

Hari ini, Kalya memutuskan untuk menemui Juna. Sebelumnya, ia sudah menyuruhnya untuk bertemu di rooftop sekolah saat istirahat kedua. Untungnya Juna menyetujuinya.

Sekarang masih jam pelajaran kelima. Masih ada satu jam pelajaran lagi sebelum bel istirahat kedua berbunyi.

Kedua kaki Kalya gemetaran di bawah meja. Ia mencemaskan apa yang akan terjadi nanti. Pikirannya tak terfokuskan pada guru lintas minat geografi yang sedang mempresentasikan materi. Kuku jari kelingkingnya ia gigit-gigit kecil sedari tadi, tanda sedang cemas.

Ega, teman sebangkunya, menepuk pundaknya pelan. “Lo gapapa, Ya?” tanyanya khawatir.

Kalya menoleh, memberikan senyum paksa. “Gapapa, Ga.”

“Mendingan lo dengerin lagu, deh, biar lebih tenang. Dari tadi mejanya geter gara-gara kaki lo gemeteran mulu,” saran Ega.

Buru-buru, Kalya mengambil earphone dari dalam tempat pensil, lalu memasangnya di telinga dan ponselnya secara sembunyi-sembunyi.

Dan benar saja, ia jadi lebih tenang. Ditambah lagi, ia men-scroll layar ponselnya yang menampakkan timeline aplikasi Twitter.

Kurang lebih dua jam pelajaran terlewati dengan Kalya yang tak menerima ilmu apa pun. Ia buru-buru menuju rooftop setelah bel istirahat kedua berbunyi.

Ega hanya menggeleng kecil melihat kelakuan teman sebangkunya itu.

Sesampainya di rooftop, ia langsung diperlihatkan sosok Juna yang berdiri membelakanginya. Dengan sedikit ragu dan takut, ia menghampirinya.

“J-Juna …,” cicitnya.

Yang dipanggil menoleh ke arah sumber suara. “Kalya? Kenapa manggil?” tanyanya lembut.

Kalya mendongak, menatap sosok tinggi di hadapannya. “A-aku … mau ngomong sesuatu.”

Juna terkekeh kecil seraya mengelus punggung sosok yang lebih kecil. “Tenang, tenang …, jangan ngomong dulu,” ujarnya menenangkan.

Sosok yang lebih kecil menepis tangannya pelan. Ia tau, pemuda di depannya terkesiap dengan apa yang ia lakukan barusan, tapi ia tidak peduli.

“Kamu … jujur sama aku, aku salah apa? Perilaku apa yang bikin kamu jadi jauh dari aku?” Akhirnya pertanyaan yang selama ini terpendam lolos dari mulutnya.

Pemuda itu mendengus pelan, sudah menduga hal ini akan terjadi. “Sebenernya … nggak ada. Aku cuma … udah nggak punya perasaan yang sama.”

Jantung Kalya berdetak kencang. Tebakannya benar, Juna sudah tidak menyukainya. “Kenapa nggak bilang dari lama? Kenapa malah milih deketin orang lain di saat kita masih belum berakhir?” Ia berusaha mengatur emosinya supaya tidak terdengar terlalu bersedih maupun terlalu kesal.

“Kamu … tau dari mana?” tanya Juna tak percaya.

“Nggak penting tau dari mananya. Yang jelas bukan dia yang ngomong langsung ke aku,” balas Kalya datar. “Jadi …, kenapa?”

“Nggak ada alasan.”

Ia mendengus pendek seraya tersenyum mengejek. “Jadi ini maksud perkataan lo waktu itu, dan lo nggak bales kalimat gue juga.” Seketika ia mengubah pronomina yang biasa ia gunakan untuk Juna.

“Maaf.”

“It’s okay. Perasaan orang bisa berubah, tapi … gue masih kesel aja karena lo nggak bilang langsung.” Ia tersenyum simpul sesaat setelah meloloskan dengusan—yang ia harap—terakhir.

“Makasih,” ujar Juna pelan.

“Karena?”

“Karena lo bisa nahan emosi lo, padahal bisa aja lo ngamuk-ngamuk ke gue sekarang. Karena lo udah jadi sosok penting yang ngewarnai hari-hari gue. Dan karena lo … yang tulus cinta ke gue.” Juna tersenyum lebar untuk yang terakhir kalinya pada Kayla. Setelah senyuman ini, senyuman-senyuman lain yang ia berikan pasti akan terasa berbeda dan tidak akan secerah ini.

Bulan sabitnya telah meredup.

Tanpa sadar, Kalya ikut tersenyum. Simpul, tapi mendalam. “Oh iya, send my love to your new lover. Treat her better than me, jangan lakuin kesalahan yang sama.”

Pemuda itu mengangguk tegas. “Pasti.”

“Gue … pamit.” Sebelum Kalya berbalik, tangan pemuda itu mencegahnya.

“Untuk terakhir kalinya, boleh nggak, gue … meluk lo?” pintanya pelan.

Pertahanan yang telah dibangun kuat-kuat akhirnya meluruh. Kalya meneteskan air matanya yang sedari tadi ia tahan. Dalam dekapan Juna, ia terisak pelan. Jujur, ia masih tak rela dengan perpisahan ini. Ia masih ingin lanjut. Namun, keadaan tak mengizinkannya lagi.

Juna mengusap kepala dan punggung Kalya dengan lembut seraya berkata, “I’m so sorry. I loved you so fucking much. I wish I could stay a little bit longer.”

Dengan terisak, Kalya berusaha membalas, “It’s okay. It’s not your fault.“

Mereka melepaskan pelukan setelah beberapa saat.

“Gue … balik.” Kalya benar-benar berbalik.

Ia melangkah perlahan seraya mengusap air matanya.

“Nggak seharusnya aku bilang kalimat itu waktu itu,” sesalnya pelan, merujuk pada pernyataan cinta yang berupa frasa puitis asal Jepang.

Tanpa disadari, sesalannya masih dapat didengar oleh Juna di belakang sana.

“Aya!”

Kalya yang ingin membuka pagar rumahnya menoleh, menghentikan kegiatannya.

Tebakannya benar, Genta memanggilnya. Siapa lagi yang memanggilnya Aya selain Genta.

“Kenapa, Kak?” tanyanya.

“Lo pulang sendiri?” Genta mendekat ke arah Kalya.

“Ya iya, lah. Mau dianter siapa lagi?”

“Pacar lo mana?”

Air muka Kalya seketika menjadi sedikit keruh. “Ish, kurang ajar banget ya, lo, Kak! Udah putus, kemarin,” dumalnya.

Genta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Hehe, sorry,” sesalnya. “Eh, lo mau gue ajak jalan-jalan, nggak? Sekalian mau fotokopi nih, gue.”

Kalya berpikir sejenak. “Tapi traktir makan ya!”

“Iya, iya, gampang kalo itu, mah.”

“Ya udah, ayo.”

Mereka berdua memutuskan untuk menyusuri kota dengan Kalya yang dibonceng Genta menggunakan Tuki, motor kesayangan Genta.

Setelah puas mengelilingi kota, mereka memutuskan untuk berhenti di salah satu warung bakmi. Yang namanya berhenti, sudah pasti mereka mampir.

Genta menyodorkan semangkok bakmi pada Kalya. “Nih, reward buat lo yang berhasil lepas dari mantan lo.”

“Yeay! Makasih, Kak,” serunya.

Genta tersenyum, memperhatikan gadis di hadapannya yang asyik menyantap bakmi.

“Pelan-pelan kalo makan.” Ia menarik tisu dan mengusapkannya pada sudut bibir Kalya yang kotor.

“Gitu doang, elah. Lebay banget, deh,” cibir Kalya.

“Dih, dibilangin juga.”

Setelah beberapa saat, Genta menghentikan kegiatan makannya. Ia beralih menatap sosok gadis di depannya yang tak terganggu sedikitpun.

“Aya,” panggilnya pelan.

“Hm?” Yang dipanggil tetap fokus dengan makanannya tanpa menoleh.

“Lo mau nggak …, pacaran sama gue aja?”

“Uhuk-uhuk!” Kalya tersedak bakmi.

Buru-buru, Genta mengambil sebotol air mineral di dekatnya, kemudian menyodorkannya.

“Lihat situasi, dong, Kak!” protes Kalya setelah meneguk air.

Genta menggaruk tengkuknya. “Ya maaf.”

“Kakak serius nggak, sih?” tanya Kalya memastikan, tapi dengan nada menghakimi.

“Serius, lah. Kok lo ngeremehin gue, sih?” Kini giliran Genta yang memprotes.

“Emangnya sejak kapan?”

“Udah lama, tapi nggak ngomong soalnya keburu lo punya pacar.”

Kalya terdiam sejenak sebelum membalas, “Gue mau, tapi … tungguin gue, ya, Kak?”

“Kenapa?” tanya Genta tak mengerti.

“Gue … belum sepenuhnya move on. Mungkin seiring berjalannya waktu, gue bisa beneran lepas dari dia. Kalo boleh jujur, sih, gue udah naksir lo, Kak. Cuma ya sekedar kagum aja gitu. Jadi, mau nungguin gue, nggak?”

Genta tersenyum cerah. Tangannya bergerak mengelus puncak kepala gadis itu. “Asalkan sama lo, gue mau nunggu.”

Kalya menemukan bulannya yang baru.

What do you think?

Written by Mira

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Loading…

0

—bunga tidur.

Berprestasi Di Tengah Pandemi? Kenapa Enggak!