Gemerlap kota kelahiranku di malam itu terhalang rintik hujan. Aku yang tengah mengemudi, berdecak sebal tatkala mendapati diriku lagi-lagi terjebak di lampu merah pinggir kota yang seolah tak ada habisnya.
Beberapa anak jalanan berteduh di tepian, sedangkan segelintir sisanya menghampiri motor dan mobil yang tengah berhenti. Dalam hati, aku berdoa semoga anak-anak itu tidak ada yang mengetuk jendela kaca mobilku untuk meminta sepeser imbalan atas usahanya mengelap bulir-bulir air di kaca spion.
Tuk tuk tuk!
Sial! Rupanya doaku belum terkabul. Di balik pintu pengemudi, seorang anak laki-laki berusia sekitar 9 tahun tengah menengadahkan tangannya ke arah pintu kemudi—memintaku menjatuhkan uang ke sana. Kedua netranya menatap dengan harap-harap cemas.
Aku memutarkan kedua bola mataku, malas. Kulirik penghitung di lampu merah. Masih 53 detik lagi menuju lampu hijau. Waktu yang cukup lama dan membosankan untuk sekadar pemberhentian ini.
“Nggak mau dibuka kacanya?” tanya Ara, teman kantorku yang sedang terduduk manis di sebelahku.
“Harus?” Aku malah membalikkan pertanyaan itu.
Ara menghela napas, “Harus. Nih, uangnya dari aku aja.”
Ara menyodorkan selembar uang bernilai lima ribu rupiah. Aku mengernyitkan kening sebelum menerima uang itu dan memberikannya pada anak kecil tadi. Anak kecil itu tersenyum sambil berterima kasih padaku.
Buru-buru kututup kembali kaca di sebelahku yang hanya aku buka seperempatnya. Sepertinya keenggananku terlihat jelas, ya? Aku menyadari gelagat aneh dari Ara. Ia jelas-jelas tampak mempertanyakan sikapku yang baginya terlihat kasar.
“Jangan terlalu baik sama mereka,” ujarku pelan.
“Kenapa? Emangnya salah ya kalau mau berbagi? Masa jalan-jalan habisin uang jutaan bisa, tapi keluarin lima ribu buat bantu orang nggak bisa?” Ara melayangkan protes.
“Berbagi itu nggak salah, Ra. Tempatnya yang kurang tepat. Kamu nggak tau uang itu bakal lari ke mana. Bisa jadi dikasih ke orang dewasa pemalas yang bisanya cuma nagih uang dari tangan kecil anak-anak atau justru malah dibeliin lem buat mabok,” terangku.
“Pemikiran jahat,” lirihnya, “orang yang bisa dapet segala hal yang dimau kayak kamu … nggak akan ngerti rasanya hidup di posisi mereka.”
Aku mendengus, “Ya, ya terserah. Aku cuma ngasih tau.”
Karena malas berdebat lebih lanjut, aku memilih untuk bungkam. Pembicaraan ini tidak akan ada habisnya jika kami tidak sepemikiran. Yang ada, pada akhirnya kami hanya akan sama-sama tersulut emosi.
Lampu merah berubah warna menjadi kuning, kemudian hijau. Kendaraan-kendaraan dari arahku mulai melaju. Kami kembali membelah jalanan kota di tengah gerimis, meninggalkan topik pembicaraan kami di setopan tadi.
Comments
Loading…