“Lukanya sudah diobati?”
“Luka yang mana?”
“Di tanganmu.”
“Sudahlah nanti saja.”
“Kalau luka di hatimu?”
“Enggak perlu repot-repot, enggak akan sembuh, pakai obat paling manjur sedunia sekalipun.”
“Aku mau jadi obatnya.”
Aku tersenyum getir. Kamu selalu begitu, melontarkan kalimat harap yang tak bisa aku wujudkan. Tak tau kah kamu itu terlalu muluk bagiku? Mana mungkin gemuruh badaiku bisa bersanding dengan tenangnya lautanmu.
“Kamu enggak akan sanggup, penyakitnya ganas.”
“Aku terima semua risikonya.”
“Aku menolaknya,”
Puluhan kali penolakan, tapi kamu tetap kembali lagi. Kita sama-sama keras kepala dalam urusan ini. Aku yang menjaga agar kamu tetap di luar lingkaranku dan kamu yang mencoba terus menerobos masuk.
“Pilihlah pasangan yang baik, yang sepadan dengan dirimu, aku sudah hancur dari lama dan kamu enggak punya tanggungan untuk memperbaiki itu.”
“Terserah apa katamu, aku tetap ingin disini, paling enggak untuk membantumu membersihkan luka-luka fisik itu.”
Kamu dengan telaten membersihkan luka-luka itu. Luka silet di pergelangan tangan dan luka lebam di pipi kanan. Pertarungan paling menyedihkan karena lawannya diriku sendiri. Lalu, siapa pemenangnya?
“Hancur lebih mudah dari bertahan, kupelajari sedari kecil. Dan dari situ cara pandangku melihat cinta berwarna keruh.”
Comments
Loading…