Semua anggota keluarga memandangku paling apik. Seolah-olah aku anak emas yang berhasil dididik. Meski sejujurnya ada ribuan ton bayangan muram yang kuangkut di pundakku, aku memilih tersenyum mendengar pujian yang dilantunkan tante, paman, dan saudara-saudara jauh yang entah darimana tau namaku padahal tak pernah menyapa atau mengabari. Semua sama saja. Kebanyakan berlagak paling mengenal walau nyatanya baru melihat aku hadir di tengah mereka. Aku bosan berada dalam kumpulan orang-orang munafik tetapi ini yang disenangi Ibu.
Ibu kembali menarikku ke tengah keluarga besar, membanggakanku sebagai anak yang sukses dan ideal seperti kebanyakan tipe anak yang diinginkan orang tua asia. Menoreh prestasi, menurut pada perintah, dan menjalankan ibadah. Pujian kembali hadir, seolah semua pujian itu bisa membayar uang sekolahku.
“Pasti enak ya jadi Alula, semua bisa.”
Iya bisa, bisa gila beneran aku kalau ngelakuin semua hal. Celetukku dalam hati, membalas apa yang seenaknya tanteku bilang. Ibu hanya tertawa, entah kapan terakhir melihat Ibu sebahagia itu. Harusnya aku senang lihat Ibu dengan percaya diri menyebutkan berbagai pencapaianku kepada kakak dan adiknya, tetapi aku tak merasakan apapun. Begitu juga dengan segala pengakuan yang disampaikan keluargaku, bukankah harusnya ada perasaan bangga? Sungguh, perasaan dan pikiranku hanya kosong saja mendengarkan pujian yang tak jauh berbeda dengan omong kosong belaka.
Setelah semua yang kulalui, rasanya hampa saja. Ruang di hatiku malah semakin kosong. Ini hanya bertambah melelahkan dari tahun ke tahun. Aku, Alula Azzahra, yang baru saja genap delapan belas tahun kemarin bahkan tak merasakan euforia apa-apa di hari ulang tahun atau bahkan bulan lalu saat aku dinyatakan lulus di universitas impianku… atau universitas impian Ibuku ya? Entahlah, aku tak lagi memusingkannya.
“Lula, nanti bantuin kakakmu ya. Ini dia males banget padahal tante udah ceritain adik sepupunya saja lulus perguruan tinggi negeri yang bagus tapi dia masih memilih untuk menganggur gak jelas mengurus usahanya yang tak seberapa. Aduh, mau jadi apa anak itu?”
Aku tersenyum kecut. Harus jawab apa ya? Pikiranku berkelana.
Kalau anak tante itu malas seharusnya dukungan yang diberikan bukan tolok ukur yang entah darimana ia tahu, itu menjengkelkan untuknya, kuyakin dia semakin tak punya niat mengejar ambisi yang balap-balapan dengan orang lain. Aku tahu karena aku juga sering mengalaminya. Itu bukan membakar semangatku namun malah menciutkan motivasiku. Memang apa spesialnya anak orang dibanding anaknya sendiri?
Aku undur diri dari gerombolan tante-tanteku, beralasan ingin mencari minum di kulkas namun bertujuan untuk mencari angin segar. Sesak di sana, sedikit sekali oksigen terlalu banyak omong kosong. Aku memilih duduk di anak tangga memandang adik-adik sepupuku yang berlari-larian. Ada empat adik sepupu laki-laki yang bermain tembak-tembakan menggunakan botol air mineral seolah pistol. Permainan mereka sederhana memang tetapi terlihat menggembirakan.
“Bahagia banget ya mereka…” Gumamku.
“Mau ikutan main sama Abi?” Tanya Kak Arya, kakak sepupuku yang tadi disebut-sebut pemalas oleh Ibunya. Ia muncul dari lantai atas dan melihatku dari tempatnya yang berbeda dua anak tangga saja dariku.
Aku menggeleng. “Masa aku main sama anak-anak?’
“Ya memangnya kenapa? Memangnya ada aturan anak-anak bolehnya main sama anak-anak aja?”
Aduh, maksudku bukan begitu..
Kak Arya tertawa melihat ekspresiku yang tak tahu lagi mau jawab apa. “Aku bercanda, kamu selalu seserius ini ya? Pantesan Mamaku seneng banget muji kamu soalnya serius dan gak suka guyon kayak aku.”
Aku hanya menggaruk pelipisku walau gak gatal sama sekali tetapi di saat seperti ini bukannya tidak tahu diri ya kalau aku membalas ucapan Kak Arya yang menyatakan kenyataan bahwa rasa senang Ibunya kepadaku itu memang berlebihan.
“Kamu gak perlu merasa bersalah. Itu bukan salahmu loh.”
“Kakak bisa baca pikiranku?”
Kak Arya mengangguk. Ia mulai duduk di anak tangga, tepat di atasku.
“Beneran!?” Tanyaku kelabakan dan berbalik menghadap Kak Arya.
“Bohongan deng. Percayaan amat si, gampang diculik kamu, dek. Lagian tampang kamu tadi emang gak enak pas aku singgung mama jadi kupikir kamu merasa bersalah.”
Aku diam karena memang yang Kak Arya bilang benar.
“Dek, aku mau tanya. Boleh gak?” Tanyanya tiba-tiba memajukan kepalanya supaya bisa lebih didengar olehku.
Aku menggangguk.
“Bagaimana perasaan kamu setelah semua yang kamu capai sekarang? kamu bahagia, gak?”
Aku terdiam. Berpikir sesaat lalu mulai membuka suara, “Aku bahagia.. kok.”
Kak Arya tersenyum. “Jadi boleh aku tanya definisi bahagia kamu kayak gimana?”
Aku menunduk berusaha menemukan jawabannya, tetapi tidak ada satupun hal yang terlintas di kepalaku. Sebenernya bahagia itu yang seperti apa sih?
“Kalau aku ya, bahagiaku itu menjalankan apa yang aku suka. Aku pilih gap year buat ambil les lukis sambil jalanin usahaku bikin grafiti dan mural. Kalau kamu tanya kenapa aku bahagia dengan hal itu? Aku bisa dengan percaya diri jawab bahwa hati aku selalu penuh tiap menjalankannya. Jadi kamu gimana?”
Jawaban yakin itu membuat aku terdiam. Tak ada lagi rasa percaya diri yang mendorongku mengungkapkan bahwa aku bahagia. Kini aku ragu sebenarnya aku tahu atau tidak arti bahagia itu?
“Aku gak yakin kak.. sekarang aku ragu. Apa aku tahu bahagia itu kayak gimana?” Tanyaku frustasi. Rasanya menyebalkan mengorek perasaanku yang telah lama mati.
“Tadi kamu sebut Abi dan adik-adik lain bahagia berarti kamu punya bayangan bahagia itu kayak gimana. Kamu cuma lupa sama rasanya atau mungkin kamu mengabaikan perasaan itu secara gak sadar.”
Bahagia banget ya mereka… Iya, tadi kubilang begitu.
Sepertinya, terakhir aku merasakan kebahagiaan saat umur tujuh tahun pada saat belajar sepeda roda dua yang dibelikan oleh Ayah. Bahkan aku hampir jatuh ke selokan tetapi akhirnya bisa kubawa sampai ke luar komplek dan waktu itu rasanya kayak terbayarkan banget lelahku. Aku bahkan sampai nangis-nangis bilang kalau aku keren banget. Oh atau waktu aku akhirnya juara satu untuk pertama kalinya setelah bersusah-susah les dari siang sampai sore dan aku merasa lega dan bangga banget sama diriku sendiri karena bisa melalui semuanya. Padahal saat tes masuk universitas kemarin aku melakukan hal yang sama… tapi kenapa ya beda rasanya?
Ah… Sejak kapan ya aku lupa kalau definisi bahagiaku itu ya diriku sendiri yang tahu. Bukan dari pengakuan orang lain.
Aku menoleh, memandang Kak Arya lalu tersenyum. “Makasih ya kak, Makasih banyak.”
Aku lupa menikmati euforiaku sendiri. Harusnya yang pertama kukasih selamat dan kubiarkan menikmati pencapaianku ya diriku sendiri. Aku lupa memberikan waktu untuk merasakan kebahagianku sendiri. Anehnya, yang kupikirkan malah bagaimana supaya Ibu bahagia dan tak membandingkanku, bagaimana supaya orang mengakuiku, dan bagaimana supaya orang tak meremehkanku tanpa tahu bahwa aku lebih butuh apresiasi dari diriku sendiri.
Aku paling bahagia saat diriku yang mengakuinya. Itu bahagia versiku tak perlu lagi mencarinya dari orang lain.
fin.
Comments
Loading…