in

LoveLove SedihSedih

Aku di Rumah

Processed with VSCO with c1 preset

Kita berteduh dari ramainya suara di luar sana. Sambil menyesap sebuah cangkir berisi kopi hangat, kita berbincang tentang banyak hal. Masa depan, mimpi, angan, perjalanan panjang, juga tentang pulang ke rumah.

Kali ini, aku kembali membuka sebuah kaset lama yang merekam jejak memori kita semua. Tentang pagi yang sejuk; siang yang terik; sore yang hangat; dan malam yang tenang.

Juga tentang rumah yang kerap dibicarakan mereka. Aku merekam semua. Dan ini saatnya aku kembali menyaksikannya.

Karena kini, aku sedang di rumah.

•••

☆ [ Aku di Rumah ] ☆

•••

Ada hari-hari saat aku terlalu bersemangat untuk pergi ke suatu tempat di mana aku dituntut untuk mengeksplorasi tiap sudut pelajaran di dunia. Menjelajah tiap detik berharga setiap aku bernafas dan menghirup udara segar di pagi hari. Aku merapikan seragamku dan mengecek kesekian kali bila tak ada yang tertinggal di dalam tas. Aku keluar dari bilik kamar lalu aroma bubur ayam sebagai makanan pembuka di pagi hari mulai masuk ke hidungku. Menunggu untuk disantap dan memasukkannya ke dalam perut.

“Udah siap, May? Sini sarapan dulu.”

Dengan celemek yang masih menggantung di tubuhnya, ibu membantuku mengikat rambutku yang panjang sembari sesekali mengecek keadaan ayam yang sedang dimasaknya di wajan. Sosok lain ikut duduk di antara kami. Memakai pakaian sederhananya; sebuah kaus hijau bertuliskan klub bola favoritnya yang dibungkus dengan jaket kulit berwarna cokelat.

Lima menit kemudian, kedua sosok itu mulai membersihkan diri. Sebuah kotak makan dan tempat minum disiapkan untuk menjadi bekalku di sekolah nanti. Bapak menyesap kopinya sekali lagi lalu mengambil kunci motornya.

“Yuk, May. Bapak sudah siap.”

Ibu datang, merapikan kerah seragamku lalu mengecup keningku singkat. Aku membalas dengan mencium tangannya selama dua detik. Aroma minyak goreng masuk ke hidungku, dan aku sama sekali tak keberatan dengan itu.

“Maya berangkat ya, Bu?”

Ibu mengangguk sambil mengelus rambutku lembut. “Hati-hati, nak. Sekolah yang benar.” Pesannya.

Kupeluk tubuhnya untuk merekam aromanya kesekian kali.

Pagi itu kembali beraksi seperti hari-hari biasa. Di atas motor yang sudah berumur satu dekade ini, ‘tak pernah bosan aku memeluk figur yang sedang mengendara dengan hati-hati ini. Cepat namun perlahan, seperti sedang membonceng seorang bayi. Kepalaku ‘ku tenggelamkan di punggungnya yang lebar dan nyaman. Beberapa obrolan singkat menyapa, sesekali tawa juga terdengar. ‘Ku eratkan pelukanku pada bapak saat motor tua ini berjalan menyusuri jalanan raya yang ramai oleh kendaraan sibuk mencari surga dunia. Mereka sibuk mengejar masa depan, tentang segala yang tak pernah mereka ketahui. Berusaha menggapai sebuah angan agar masih punya waktu bernafas di esok hari.

Aku memejamkan mata. Rekam memori ini sudah cukup melekat di kepalaku, durasinya sudah hampir habis. Aku membuka mata, kembali memasukkan memori lain sebagai penggantinya. Dimulai dari kepulan asap di secangkir kopi hangat yang memabukkan indra penciumanku. Menghidu aromanya di sebuah pagi dengan hangatnya senyuman ibu dan bapak di beranda. Aku berdiri di ambang pintu, melihat ibu yang menggendong seorang bayi di lengannya, sedang bapak yang sesekali membuat guyonan agar bayi itu tertawa.

“May?” Aku tersentak lalu ikut tersenyum. Segera menghampiri dua insan yang berbahagia atas lahirnya putri baru mereka ke dunia.

Senyuman mereka kian melebar kala bayi itu tertawa menanggapi guyonan bapak. Ah … indahnya pagi itu. Seorang manusia baru kembali lahir di tengah kami, menambah kesan penuh dalam rumah yang berumur dua dekade ini. Mengisyaratkan bahwa kini peranku bertambah. Tanggung jawabku akan lebih banyak dan berat kedepannya. Meski begitu, aku bahagia berada di antara mereka. Di sebuah rumah yang aromanya sangat harum menusuk ke kepala.

Kopi hangat yang kubuat tadi sudah mendingin di meja. Kepulan asapnya hilang, menembus segala ruang memori yang kurekam. Sebuah memori lain kembali muncul. Kali ini ada di waktu sore. Saat sinar matahari mulai berganti kuning kemerahan. Remang-remang namun menyejukkan. Hangatnya senja ikut berkumpul bersama kami di teras rumah. Dengan beberapa cangkir teh hangat dan dua piring yang berisi gorengan hangat yang juga ikut menemani perbincangan kami dengan syahdu. Aku ingat tentang beberapa kalimat yang terucap dari bibir mereka satu persatu.

Sebuah petuah untuk aku dan Aya di masa depan. Tentang hari di mana kami harus beranjak dewasa dan perlahan meninggalkan dua figur kesukaan kami, juga rumah yang membuat kami tak ingin beranjak dari sana. Rumah itu kian menenang, beranda sore itu sejenak hening. Aku menghirup dalam-dalam udara yang mulai perlahan menyesaki dadaku.

Kembali mengubah waktu ketika malam akhirnya tiba. Di meja makan yang berisi tiga insan, dengan satu insan yang berganti peran. Kukira hanya aku yang akan mengalami sebuah peran yang berbeda, tapi ternyata bapak juga harus ikut merasakannya. Sebuah nasi goreng dengan telur mata sapi yang bertengger di atasnya -sebagai menu andalan ibu jika lauk di rumah habis- dimasak oleh bapak sebagai penutup hidangan di hari itu. Meski sedikit terasa lebih asin, namun aku tetap mencoba menghabiskannya. Bapak sudah berusaha semampunya.

Ruang makan itu hening. Tak ada satu pun yang bersuara. Hanya ada dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring kaca. Seolah sedang memberi tahu bahwa kepulangan ibu pagi tadi membawa kami dalam suasana duka yang berkepanjangan. Seakan memberi isyarat juga bahwa sewaktu-waktu, kami akan kembali merasakan kepulangan yang selanjutnya. Perjalanannya baru saja dimulai. Aku sebagai anak sulung setidaknya harus bisa mengubah peran sebagai ibu untuk adikku yang berumur sepuluh tahun. Dari kapan, ya? Mungkin sekitar lima tahun setelah memori di sore hari.

Aku ingat sekali pesan ibu yang masih melekat di kepalaku hingga kini. Tentang bagaimana kita harus bersabar dalam menghadapi suatu masalah, tentang merelakan, mengikhlaskan, mencoba bertahan, dan ada satu lagi, sebuah kiasan tentang hidup yang ibu berikan padaku.

“May, hidup harus seperti pohon bambu. Ia tumbuhan yang fleksibel meski sedikit rapuh. Tapi ia kuat, May. Rantingnya sangat kuat. Kalau ketiup angin, dia ikut bengkok, bahkan sampai mencium tanah. Tapi dia nggak pernah sampai patah.” Begitu katanya. “Jadi seperti dia, May. Ibu percaya kamu bisa selalu kuat seperti pohon bambu yang nggak pernah patah walau diterpa angin berkali-kali.” Begitu pesannya.

Mataku mengabur, dadaku ikut sesak dibuatnya. Sebuah asap menarik pandanganku kembali. Lagi, tanganku memegang secangkir kopi hangat di suatu pagi. Aku melihat dengan lekat birunya langit pagi ini. Imajinasiku beterbangan liar ke sana ke mari. Kuhirup lagi-lagi aroma sejuk di pagi hari, kusesap kopiku yang sudah mulai dingin. Aku menatap tanaman di halaman depan yang mulai mati sedikit demi sedikit. Sang empunya yang sering merawatnya sudah menghilang raganya, tanaman itu kesepian. Tak ada yang lebih bisa membuatnya tumbuh subur selain insan yang sudah pergi hampir sewindu lamanya.

“May?”

Aku menoleh ke samping. Tempat duduk yang awalnya kosong kini terisi ibu di sana. Duduk manis dengan wajah tersenyum secerah mentari pagi ini. Di sebelahnya juga ada secangkir kopi, tidak hangat kurasa karena asapnya menghilang. Atau memang tidak terlihat?

“Rumahnya ramai lagi ya, May? Ibu seneng, deh.”

Aku memejam mata. Mencoba menghalau rasa sesak di dada yang mulai menyeruak hingga ke mata. “kopinya dingin, Bu.” Kataku dengan suara serak menahan isak yang ingin keluar.

“Terlalu pahit, May. Kamu lagi-lagi lupa ngasih gula.”

Ibu tidak tahu, aku sengaja tak pernah lagi menaburkan gula ke dalam kopi semenjak aroma manis itu mulai menghilang bersamaan dengan ragamu yang kian melenyap.

“Maya suka kopi pahit, Bu.”

Mata ibu menatap lurus ke depan, melihat beberapa tanaman hiasnya mulai berpindah tempat. Tidak lagi sesuai dengan yang biasa ia susun dengan tangannya sendiri. Kerutan di pinggir matanya menyipit, sambil menatapku ia tersenyum. Disesapnya kopi di samping tubuhnya. Suasana hening dan aku membiarkan udara pagi dan kicauan burung yang mengisi kepala kami. Mengisi ruang-ruang sepi yang tak lagi berpenghuni.

Ibu banyak tersenyum pagi ini, tak pernah ia lunturkan senyumannya kala itu. Membuatku lagi-lagi harus menahan nafas untuk terus bisa melihat senyumnya yang hangat.

“Bu,” panggilku. “Maya dan Reza sepakat untuk tinggal di rumah peninggalan ibu dan bapak. Biar Aya aja yang ikut suaminya ke Surabaya. Supaya rumah ini kembali ramai seperti yang ibu senangi.”

“Makasih, May. Ibu senang akhirnya rumah kembali terisi. Bapak juga pasti senang.” Jawab ibu.

Mataku beralih ke sebuah dinding di belakang kami yang warnanya mulai memudar dan catnya mulai mengelupas. Tersirat sebuah kisah dan memori panjang di sebuah rumah sederhana yang berusia tujuh dekade ini. Tentang tangis pertama kali saat seorang manusia lahir dan menatap dunia; tentang sebuah kaki yang pertama kali melangkah sendiri; tentang aroma bubur dan nasi goreng sebagai pembuka di pagi hari; tentang secangkir kopi hangat yang dihirup bersama; tentang mereka yang satu persatu mulai meninggalkan rumah ini dan hanya menyisakan dekap hangat yang tertempel di dinding kusamnya.

“Aku di rumah, Bu.”

Aku pulang. Aku kembali. Ibu masih di sebelahku. Seperti menungguku berbicara. Kugigit dalam bibir bawahku, tanganku gemetar. Aku berdiri, mendekat ke arah ibu lalu mendekapnya erat seolah hanya kini kali terakhir aku bisa mendekapnya seerat ini. Aku menumpahkan segalanya, bebanku, ketakutanku, gelisahku, rinduku, tangisku pecah di sana, di pelukan ibu.

Aku pulang ke pelukanmu.

“Bu, Maya minta maaf atas semuanya. Maya banyak salah, Maya suka ngelawan ibu dan bapak, Maya masih manja dan suka egois sama Aya. Maya minta maaf, Bu.”

Ibu membalas pelukanku sama eratnya, “Ya Allah, May. Harusnya ibu yang minta maaf karena gak bisa menepati janji untuk melihat kamu menggapai mimpi besarmu. Ibu yang salah, Maya. Ibu minta maaf.” Aku menggeleng kuat dengan isak tangis yang tak mau berhenti.

“Kamu anak ibu yang paling kuat, Maya. Si sulung yang paling hebat dan bisa merangkul adik-adiknya serta mimpinya. Ibu bangga, nak.”

Isak tangisku kian menjadi-jadi kala tangan lembut ibu mengusap punggungku sama lembutnya. Aku sudah tidak lagi sanggup bersuara sampai waktu di mana ibu kembali berpesan untuk terakhir kalinya.

“Jaga rumahmu, May. Buat orang lain nyaman dengan kamu saat di rumah.”

Pandanganku kembali mengabur tertutup secercah cahaya yang kian menghilang kala aku menyadari sedari tadi aku hanya sendiri. Isakku masih tersisa saat kulihat bangku di sampingku terasa hangat seolah ibu benar-benar duduk di sana tadi.

Aku belum selesai melampiaskan rasa rinduku kala sosok lain datang satu persatu dan memelukku erat. Sama eratnya dengan pelukan ibu beberapa menit yang lalu.

Kembali aku memejamkan mataku, dan seketika aku merasa terbangun dari mimpi yang panjang. Mimpi tentang perjalanan hidup dari semenjak aku mengenal dunia dan seisinya. Dibawa aku ke dalam kiasan memori singkat tentang hangatnya kisah-kisah di dalam sebuah rumah sederhana yang menenangkan. Aku mengelus gundukan tanah di depanku, menatap nisan itu dan mengusapnya berkali-kali. Memeluknya, menciumnya seakan yang kucium adalah sebuah kepala dari raga yang terkubur di bawah, serta merapalkan bait-bait doa yang membantunya kelak bisa lebih bahagia di sana.

Mataku beralih ke depan, pandanganku sedikit mengabur namun aku yakin ‘tak salah lihat. Aku melihat ibu tersenyum lebar sekali. Ia berjarak cukup jauh, menatap kami yang saling mengitari tempat pulangnya yang terakhir bersama-sama.

Ibu bahagia. Ibu sudah terlihat sangat bahagia. Dengan pakaian putihnya yang bersih dan cerah, secerah senyumannya tadi. Dadaku menghangat, tersenyum kecil kala aku menyadari bahwa kepergian akan mendatangkan pertemuan yang baru. Pertemuan yang kembali mengingatkanku akan ibu dan bapak, tentang rumah, tentang tempatku berpulang.

Rekaman jejak memori itu perlahan melambat. Semua perjalanan lama sudah kusaksikan dengan perasaan bahagia. Durasinya habis. Rekaman itu berhenti, tepat saat mataku kembali membayangkan senyum ibu dan bapak di teras rumah. Kali ini saatnya aku merekam memori baru untuk kemudian dimasukkan ke dalam kaset yang sama. Menjadikan tiap sudut yang kuterima di dunia sebagai ruang nafas perjalanan hidup yang ‘tak boleh dilewatkan begitu saja. Aku kian merekam tiap detik berharganya.

Aku masih ingat pertanyaan yang pernah terlontar dari mulut ibu beberapa tahun silam, “Apa arti rumah buatmu, May?”

Aku termenung. Menurutku, definisi rumah tiap orang berbeda. Ada yang mendefinisikan bahwa rumah adalah tempat yang nyaman untuk berpulang. Tapi bagiku, rumah adalah hidup. Hidup yang membuatku ingin selalu berada di sana, menghirup aroma-aroma kesukaan yang membuatku tenang dan hangat. Aroma yang memberiku sebuah memori indah dalam sejarah perjalanan hidup.

Itu rumah buatku.

Dan kini, aku sudah di rumah.

Aku sudah pulang.

•••

Selesai.

•••

Terima kasih sudah membaca!

What do you think?

Written by iiz

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Loading…

0

Senyum Yang Berharga

Memanusiakan Diri Sendiri di Tahun 2021, Bagaimana Caranya?